Diduga Tolak Hak Jawab Narasumber, Media Online ini Langgar UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik
Penolakan hak jawab itu disebut terjadi setelah Kantor Hukum Muhammad Iqbal dan Partners melayangkan surat resmi kepada redaksi sidikpolisinews.id sejak 17 Oktober 2025. Namun hingga kini, hak jawab tersebut tidak pernah dimuat, tanpa alasan jelas.
Kuasa hukum pengirim hak jawab, Muhammad Iqbal, S.H., M.H., C.T.A., menilai langkah media itu bukan hanya tidak profesional, tetapi juga melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 5 ayat (2) dan (3) yang dengan tegas mewajibkan perusahaan pers melayani hak jawab dan hak koreksi.
“Ini preseden buruk bagi dunia pers. Hak jawab adalah hak konstitusional setiap warga negara yang merasa dirugikan oleh pemberitaan. Ketika media menolak memuatnya, itu sama saja dengan menutup akses keadilan di ruang publik,” tegas Iqbal, Sabtu (26/10/2025).
Dalam regulasi pers, hak jawab bukanlah sekadar formalitas. Tapi merupakan kewajiban mutlak bagi setiap media sebagai bentuk tanggung jawab moral dan hukum atas pemberitaannya.
Namun, yang terjadi di kasus ini justru sebaliknya. Media yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran malah membungkam hak klarifikasi dari pihak yang diberitakan.
Iqbal menyebut, tindakan tersebut bertentangan dengan Peraturan Dewan Pers Nomor 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab, yang menyatakan bahwa setiap media wajib memuat hak jawab secara proporsional, segera, dan tanpa diskriminasi.
“Menolak hak jawab sama saja menolak kebenaran. Ini menunjukkan bahwa media tersebut tidak mengedepankan asas keberimbangan dan etika jurnalistik,” ujarnya tajam.
Penolakan hak jawab, menurut kalangan hukum, dapat berimplikasi hukum serius. Bila akibatnya menimbulkan kerugian bagi pihak yang diberitakan, maka media bisa digugat secara pidana maupun perdata.
Iqbal juga menegaskan, pihaknya kini tengah menyiapkan langkah hukum lanjutan terhadap sidikpolisinews.id dan pihak narasumber dalam pemberitaan yang dinilai mencemarkan nama baik kliennya, Hj. Wendy Kusumawati Paputungan, S.H., Sp.I.
“Ini bukan soal menyerang media, tapi soal menegakkan prinsip keadilan. Jika hak jawab saja tidak dihormati, bagaimana publik bisa percaya pada media tersebut?” ucapnya.
Kasus ini membuka kembali perdebatan klasik antara kebebasan pers dan tanggung jawab etik. Menurut pakar komunikasi publik, kebebasan pers tidak boleh dimaknai sebagai kebebasan tanpa batas.
“Hak jawab adalah bagian dari mekanisme koreksi yang melindungi kedua belah pihak — media dan narasumber. Ketika media menutup pintu itu, maka yang terjadi adalah penyalahgunaan kebebasan pers,” ujar seorang pengamat media di Jakarta.
Dia juga menambahkan, praktik seperti ini mencoreng citra jurnalisme yang seharusnya berimbang, akurat, dan berkeadilan.
Sejumlah kalangan mendesak Dewan Pers turun tangan untuk memeriksa dugaan pelanggaran ini. Bila terbukti, redaksi sidikpolisi.news dapat dikenakan sanksi administratif dan etik sesuai ketentuan Dewan Pers.
“Dewan Pers tidak boleh diam. Ini momentum untuk menegaskan kembali bahwa kebebasan pers bukanlah lisensi untuk semena-mena terhadap hak publik,” tutup Iqbal.
Masalah media sidikpolisinews.id ternyata tidak berhenti di situ. Berdasarkan pernyataan Dewan Pers, media dengan nama yang menyerupai lembaga negara seperti “Polisi” atau “KPK” disebut melanggar ketentuan etik dan hukum karena menimbulkan kesan afiliasi palsu dengan institusi resmi negara.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers, Muhammad Jazuli, menegaskan bahwa penggunaan nama lembaga negara oleh media tanpa izin dan afiliasi resmi merupakan pelanggaran serius.
“Kalau KPK atau Polri punya media resmi, itu sah karena di bawah institusinya langsung. Tapi media yang mencatut nama lembaga negara untuk kepentingan pribadi, itu harus ditertibkan,” ujar Jazuli dalam konferensi pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Jazuli juga menjelaskan Dewan Pers telah mulai menertibkan media-media yang menggunakan nama lembaga negara untuk membangun kredibilitas semu, padahal tidak memiliki hubungan struktural apa pun dengan instansi yang dicatut.
Menurutnya, penertiban ini bukan tindakan represif, tetapi upaya membersihkan ekosistem media digital dari praktik yang menyesatkan publik.
“Kami ingin masyarakat tahu mana media resmi, mana yang hanya mengatasnamakan institusi untuk kepentingan pribadi atau politik,” ujarnya.